Beranda | Artikel
Thariqat Naqsyabandiyah
Kamis, 27 Mei 2021

Naqsyabandiyah merupakan salah satu tharikat sufi. Di Indonesia terhitung sebagai tharikat mu’tabarah, yang mempunyai banyak pengikut. Tharikat ini memiliki tradisi khusus dalam peribadahan maupun aqidah yang membedakannya dengan tharikat lainnya.

PERKEMBANGAN THARIKAT NAQSYABANDIYAH

Tharikat ini, pertama kali muncul pada abad 14 M di Turkistan. Pencetusnya bernama Muhammad bin Muhammad Baha’uddin Al Bukhari, yang kemudian mendapatkan gelar sebagai Syaikh Naqsyabandi (618- 791 H / 1317-1389 M).

Aliran ini mengalami perkembangan yang signifikan. Pertumbuhannya secara pesat terjadi di negara-negara Persia, India, Asia Barat dan Negara-negara lainnya, termasuk di Indonesia dengan basis utamanya di pulau Jawa, yang menempati posisi tinggi dari kuantitas pemeluknya. Diadopsinya pemikiran yang terdapat pada aliran ini oleh ormas besar di dalam negeri, semakin mengokohkan eksistensinya.

 

TOKOH-TOKOH DAN REFERENSI UTAMA THARIKAT NAQSYABANDIYAH

Setiap pemikiran menyimpang pasti menokohkan sosok tertentu dan menjadikan karya tulis tokoh tersebut sebagai referensi dalam mengamalkan berbagai aktifitas bid’ahnya. Demikian halnya dengan tharikat Naqsyabandiyah yang memiliki massa dengan jumlah besar.

Di antara tokoh-tokoh Naqsyabandiyah yang berpengaruh mendukung tharikat Naqsabandiyah ialah: 

  1. Muhammad Amin Al Kurdi, pengarang kitab Tanwirul Qulub Fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub.
  2. Ad Dahlawi, penulis kitab Syifa’ul ‘Alil Tarjamatul Qaulul Jamil.
  3. Yasin Ibrahim As Sanhuti, tokoh mereka yang menulis kitab Al Anwar Al Qudsiyah Fi Manaqibin Naqsyabandiyah.
  4. Yusuf bin Isma’il An Nabhani, orang ini mewariskan kitab berjudul Jami’ Karamatil Auliya’.
  5. ‘Abdul Hamid Thahmaz, pengarang kitab Tarjamatusy Syaikh Muhammad Al Hamid.
  6. ‘Abdul Wahhab Asy Sya’rani, ulama terkenal mereka yang mengarang kitab besar Lawaqihul Anwar, yang lebih populer dengan sebutan kitab Thabaqat Asy Sya’rani.

AKAR DAN POKOK PEMIKIRAN AMALAN THARIKAT NAQSYABANDIYAH

Pada umumnya, keyakinan dan amalan semua tharikat sufi berasal dari ajaran atau sumber selain Islam, yang kemudian diadopsi sedemikian rupa dan dimasukkan ke dalam ajaran Islam, sehingga seolah-olah merupakan bagian dari Islam, padahal bukan. Sumber-sumber tersebut, bisa dari ajaran-ajaran agama, seperti Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, ataupun pemikiran-pemikiran filsafat. Begitu pula dengan tharikat Naqsyabandiyah.

Pada dasarnya, aqidah, pemikiran ataupun ibadah yang menjadi trademark aliran ini tidak jauh berbeda dengan tharikat sufi lainnya. Segala yang mereka miliki, sungguh tidak ada petunjuk ataupun keterangan dari Al Qur`an maupun hadits yang shahih. Di antaranya:

  1. Pengagungan terhadap syaikh-syaikh mereka, terutama kepada Syaikh Naqsyabandi secara berlebihan. Mereka meyakini, bahwa Syaikh Naqsyabandi sebagai penolong yang maha agung, sumber ma’rifah (pengetahuan), pembagi hidayah, berkah dan ia dianggapnya sebagai manusia terbaik.
  2. Menurut tharikat Naqsyabadiyah, boleh meminta pertolongan kepada syaikh-syaikh mereka, baik ketika masih hidup atau tatkala sudah mati, guna mengeluarkan mereka pada saat-saat genting dalam menghadapi berbagai himpitan hidup.
  3. Pengagungan yang diarahkan kepada kubur para syaikh mereka juga menjadi ajaran wajib para penganut tharikat ini. Bahkan dianjurkan supaya orang-orang ngalap berkah di sana dengan mencium atau mengusapnya. Dan dilarang keras mengingkari amaliah ini, selama sang pelaku meyakini bahwa Allahlah yang mengatur alam semesta. Keyakinan lain yang berkaitan dengan kubur pembesar mereka, bahwa setiap kuburan telah dihuni juga oleh seorang malaikat untuk membantu memenuhi kebutuhan manusia.
  4. Mereka juga berkeyakinan, seseorang yang bersungguh-sungguh dalam berdzikir, maka ia akan bisa melihat Allah dengan kedua mata telanjangnya tanpa ada penghalang.
  5. Mereka juga berkeyakinan, bahwa para wali (menurut klaim mereka) mengetahui hal yang ghaib, mampu mendeteksi obyek yang terlintas di benak dan perasaan orang, dan bisa melakukan hal-hal yang diyakini sebagai karomah.
  6. Memakai jimat yang dikalungkan di leher atau tempat lainnya juga menjadi kebiasaan Naqsyabandiyyin (orang-orang Nasyabandiyah). Perangkat ini lebih dikenal dengan nama hijab (atau hizib?).
  7. Menurut mereka, hakikat tawakkal ialah pasrah secara totalitas kepada para tokoh agama mereka, layaknya seorang mayat yang berada di tangan orang yang memandikannya.
  8. Aqidah fana (ketidaksadaran secara total karena hanya ingat kepada Allah) dan aqidah wihdatul wujud (keyakinan bahwa ketika seseorang telah sampai kepada tingkatan melihat Allah secara langsung dan ia akan menyatu dengan dzat Allah), menjadi bagian aqidah yang tidak terpisahkan.
  9. Mereka mengagungkan tokoh-tokoh yang berfaham al ittihat (menyatu dengan Tuhan) dan hulul (Allah menitis kepada makhlukNya), seperti Al Hallaj dan Abu Yazid Al Bustami. Dua tokoh yang pernyataan-pernyataannya menjadi dalil dan hujjah beragama tharikat Naqsyabandiyah.
  10. Murid-murid tharikat ini diharuskan mengabdi kepada gurunya dalam bentuk harta dan fisik. Mereka dilarang keras untuk membantah ketentuan atau perbuatan gurunya sedikit pun. Mereka tidak merasa terpaksa dalam masalah ini, justru diyakini bahwa pengabdian ini merupakan amalan yang paling utama.
  11. Wasilah yang menghubungkan seorang murid dengan Allah adalah syaikh (gurunya). Oleh karena itu, seseorang harus mempunyai syaikh. Jika tidak, berarti syaikhnya adalah setan.
  12. Dalam pandangan mereka, ilmu agama merupakan sesuatu yang dibenci, bahkan dianggap sebagai kesibukan yang sia-sia dan membuang waktu saja. Alasannya, seorang murid (anggota tharikat) bisa langsung mengenal Allah tanpa melalui proses pembelajaran.
  13. Menurut mereka, kecintaan kepada Allah adalah kecintaan yang bukan didasarkan karena mengharap surgaNya, dan bukan pula karena takut nerakaNya. Karena, menurut Naqsyabadiyah, kecintaan yang seperti ini merupakan perbuatan syirik.
  14. Mereka mempunyai dzikir yang disebut dengan dzikir khaf. Dzkir jenis ini dilakukan oleh hati dan jiwa tanpa diikuti ucapan lisan. Waktu pelaksanaannya setelah shalat sunnah dua raka’at, dengan menghadap kiblat dan memejamkan kedua mata. Dimulai dengan membaca istighfar 25x, membaca surat Al Fatihah dan menghadiahkan pahalanya kepada Nabi dan para syaikh mereka. Kemudian mereka membayangkan wajah syaikh di benak masing masing seraya melantunkan:

يَـــا إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُودِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوبِيْ

(Ya Allah, sesembahanku, Engkau adalah tujuanku dan ridhaMu adalah yang aku cari-cari) sebanyak 20x dengan satu tarikan nafas.

Dzikir lainnya, yaitu berdzikir dengan isim mufrad, seperti mengulangi lafazh Allah, Allah, Qayyum, Qayyum; atau dengan dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga), seperti هُوَ هُوَ (huwa, huwa).

Demikian beberapa ajaran yang berkaitan dengan tharikat Naqsyabandiyah. Untuk melengkapi penjelasan tersebut, layak kita perhatikan kumpulan Fatawa Lajnah Daimah, jilid 2 hlm. 359. Dalam fatwa ini, para ulama tersebut menyampaikan, bahwa adanya banyak bid’ah pada jama’ah tharikat-tharikat sufi. Misalnya: dzikir berjama’ah, dalam lantunan nyanyian mereka (nasyid) banyak mengandung sisi keburukan. Mereka juga beristighatsah (meminta tolong) kepada selain Allah, kepada orang-orang sudah meninggal, seperti kepada Sayyid Al Badawi, Asy Syadzili, Abdul Qadir Al Jailani dan lainnya. Kitab-kitab mereka banyak dipenuhi bid’ah dan keburukan.

Adapun tharikat Naqsyabandiyah, mereka melakukan dzikir dengan lafzhul jalalah (lafazh Allah/ ) sebagai wirid harian, tanpa disertai gerakan lisan. Anggota yang sedang berdzikir demikian meminta kehadiran syaikhnya. Wirid harian itu diyakini menjadi modal keselamatannya pada Hari Kiamat nanti. Ini semua termasuk bid’ah yang mungkar, karena dzikir-dzikir (yang mereka lakukan) itu tidak ada dasarnya, baik dari Al Qur`an mapun As Sunnah. Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak. (HR Muslim).

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu hal baru) dalam urusan (agama) kami, yang bukan perintah kami, maka akan ditolak. (Muttafaqun ‘alaih).

Dengan tulisan ini, maka pembaca dapat menilai sendiri aliran tharikat Naqsyabandiyah, yaitu tidak berbeda dengan aliran-aliran sufi lainnya. Wallahu a’lam.

Maraji’:
1. An Naqsyabandiyah ‘Ardhun Wa Tahlil, karya Abdurrahman Dimasyqiyah.
2. Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyan Wal Madzahib Wal Ahzab Al Mu’ashirah.
3. Fatawa Lajnah Daimah, jilid 2.
4. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Hartono Ahmad Jaiz

 

Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/thariqat-naqsyabandiyah/